Rabu, 17 Mei 2017

Kisah Satu Paragraf

"Saat kau tidak ada nanti, kira-kira sudikah orang membuat biografimu boi?"

pikiran kawanku yang satu ini memang suka aneh-aneh. Menerobos waktu tanpa ampun. Tak berlebihan kalau ku sebut ia punya penyakit berpikir terlalu dalam.

Tapi pertanyaannya sukses membuatku termenung.

Aku diam.

"Kenapa kau bertanya seperti itu? sudah mau mati kau?" jawabku sekenanya.

Ia tersenyum tidak simetris. Menyebalkan.

"tidak. hanya berandai-andai saja. Kira kira saat kita mati, ada orang yang sudi menulis buku biografi kita atau tidak."

aku kembali diam. Tapi dengan jelas hatiku menjawab, "tidak akan. tidak akan ada yang mau!"

"Kau tau banyak sekali buku biografi orang orang hebat pencetak sejarah di bumi ini?"

aku masih diam. Pertanyaan retoris.

"Kau pernah main ke toko buku? lihat buku tentang Soekarno? ada bermacam jenis penerbit yang menuliskan jejak hidupnya."

"Kau tahu Umar bin Khattab Al-Faruq, berbagai penerbit, berbagai bahasa, 10 cm tebalnya! Banyak sekali manusia yang mencatat detil hidupnya. Diteliti dari berjilid-jilid hadis dan buku."

"Apalagi Nabi Muhammad."

dia tertawa ringan. "Tak perlu dibahas lagi, haha!" tawanya perlahan mereda.

Berganti sunyi. Tatapannya jauh memandang awan awan berarak, melintasi waktu. Mungkin mengira-ngira seperti apa akhir hidupnya nanti.

Aku masih diam. Memaknai semua kata-kata kawanku ini. Ia yang awalnya kuanggap penyakitan, ternyata serius. Tidak main-main.

"Ada 7 miliar manusia di bumi. Ada berapa yang punya buku biografi?"

ia mulai lagi.

"Sadar atau tidak boi, kita sendiri yang jelas-jelas menuliskan buku biografi itu. Tinggal kisahmu itu, laku atau tidak di pasaran?"

"Aku lahir. Tumbuh besar. Sekolah. Masuk perguruan tinggi. Lulus. bekerja. menikah. Punya anak. Punya cucu. lalu mati."

"Itu namanya Kisah Hidup Satu Paragraf. Kalau hanya seperti itu kisah hidupmu. Namamu hanya kekal dalam lingkup keluargamu."

"Yaah..." ia menghitung dengan tangan kanan. "Paling bertahan empat generasi lah. Lalu dunia dengan cepat melupakanmu."

"Selamanya."

angin berhembus menelisik wajah kami, memainkan rambut kami, ke kanan dan ke kiri.

"Kau tahu yang paling penting? jika kau hanya hidup dalam Kisah Satu Paragraf.."

ia mengambil nafas. Kalimatnya menggantung.

"Pantaskah kita untuk menghadap-Nya kelak boi?"

aku mematung.

"Jangan-jangan, di kuburan saja kita sudah mati kutu. Digerogoti cacing. Berakhir sia-sia"

0 komentar:

Posting Komentar