Rabu, 17 Mei 2017

ILMU FILSAFAT, PERUSAK AKIDAH ISLAM

Oleh
Ustadz Abu Minhal

Sebagian ahlul ahwa wal bida’ (orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan pelaku bid’ah, golongan menyimpang dalam Islam) mengklaim bahwa ilmu-ilmu ilahi (akidah) itu masih ghâmidhah (kabur dan tak terpahami). Menurut mereka, tidak mungkin dimengerti kecuali melalui jalan ilmu manthiq dan filsafat. Bertolak dari sinilah kemudian mereka (kaum Mu’tazilah dan yang sepaham dengan mereka sampai era sekarang) mengadopsi ilmu filsafat untuk dijadikan sebagai perangkat pendukung untuk mendalami akidah Islam.[1]

ASAL MUASAL KATA FILSAFAT
Jelas-jelas kata filsafat bukan asli dari bahasa Arab. Apalagi dalam kamus syariat Islam. Ia berasal dari Yunani, negeri ‘para dewa’ yang disembah oleh manusia. Terbentuk dari dua susunan, filo yang bermakna cinta dan penggalan kedua sofia yang bermakna hikmah. Pengertian yang terbentuk dari paduan dua kata itu memang cukup menarik.

Sebagian mendefinisikan sebagai upaya pencarian tabiat (karakter) segala sesuatu dan hakekat maujûdât (hal-hal yang ada di dunia ini). Filsafat fokus pada pengerahan usaha dalam mengenali sesuatu dengan pengenalan yang murni. Apapun obyeknya, baik perkara ilmiah, agama, ilmu hitung atau lainnya.[2]

Akan tetapi, perkara terpenting yang tidak boleh dilupakan, bahwa tempat asal lahirnya kata itu adalah negeri Yunani dan keyakinan kufur generasi pertama ahli filsafat yang menjadi rujukan filsafat dunia, sudah cukup bagi kaum Muslimin untuk berhati-hati dan mengesampingkannya dari tengah umat, karena berasal dari negeri dan kaum yang tidak beriman kepada Allâh k, kaum yang menyembah para dewa. Kecurigaan terhadap output filsafat mesti dikedepankan. Doktor ‘Afâf binti Hasan bin Muhammad Mukhtâr penulis disertasi berjudul Tanâquzhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ fil ‘Aqîdah’ menyatakan, dari sini menjadi jelas bahwa filsafat merupakan pemikiran asing yang bersumber dari luar Islam dan kaum Muslimin, sebab sumbernya berasal dari Yunani [3]

ILMU FILSAFAT TIDAK ADA DALAM GENERASI SALAFUL UMMAH
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menceritakan, “Orang-orang yang muncul setelah tiga masa yang utama terlalu berlebihan dalam kebanyakan perkara yang diingkari oleh tokoh-tokoh generasi Tabi’in dan generasi Tabi’it Tabi’in. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dipegangi generasi sebelumnya sehingga mencampuradukkan perkara-perkara agama dengan teori-teori Yunani dan menjadikan pernyataan-pernyataan kaum filosof sebagai sumber pijakan untuk me’luruskan’ atsar yang berseberangan dengan filsafat melalui cara penakwilan, meskipun itu tercela. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mengklaim ilmu yang telah mereka susun adalah ilmu yang paling mulia dan sebaiknya dimengerti”.[4]

Karena itulah, kaum Mu’tazilah dan golongan yang sepemikiran dengan mereka tidak bertumpu pada kitab tafsir ma’tsur, hadits dan perkataan Salaf. Perkataan al-Hâfizh merupakan seruan yang tegas untuk berpegang teguh dengan petunjuk Salaf dan menjauhi perkara baru yang diluncurkan oleh generasi Khalaf yang bertentangan dengan petunjuk generasi Salaf.[5]

Syaikhul Islam rahimahullah mendudukkan, bahwa penggunaan ilmu filsafat sebagai salah satu dasar pengambilan hukum adalah karakter orang-orang mulhid dan ahli bid’ah. Karena itu, terdapat pernyataan Ulama Salaf yang menghimbau umat agar iltizam dengan al-Qur`ân dan Sunnah dan memperingatkan umat dari bid’ah dan ilmu filsafat (ilmu kalam).[6]

ULAMA BICARA TENTANG BAHAYA ILMU FILSAFAT
Melalui ilmu filsafatlah, intervensi pemikiran asing masuk dalam Islam. Tidaklah muncul ideologi filsafat dan pemikiran yang serupa dengannya kecuali setelah umat Islam mengadopsi dan menerjemahkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani melalui kebijakan pemerintahan di bawah kendali al-Makmûn masa itu.

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan akidah adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas dengan apa yang telah dipegangi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merasa cukup dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang buruk yang pada gilirannya merusak akidah”.[7]

Ketika orang sudah memasuki dimensi filsafat, tidak ada kebaikan sedikit pun yang dapat ia raih. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Jarang sekali orang mempelajarinya (ilmu kalam dan filsafat) kecuali akan terkena bahaya dari mereka (kaum filosof)”.[8]

Karena itu, tidak heran bila Ibnu Shalâh rahimahullah memvonis ilmu filsafat sebagai biang ketololan, rusaknya akidah, kesesatan, sumber kebingungan, kesesatan dan membangkitkan penyimpangan dan zandaqah (kekufuran)[9]

Begitu banyak ungkapan Ulama Salaf yang berisi celaan terhadap ilmu warisan bangsa Yunani ini dan selanjutnya mereka mengajak untuk berpegang teguh dengan wahyu.

AL-QUR’AN DAN SUNNAH SUMBER PENGAMBILAN AQIDAH
Kebenaran dengan segala perangkatnya telah dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya, tanggung jawab penyampaian kebenaran dari Allâh Azza wa Jalla itu diemban oleh insan-insan pilihan sepeninggal beliau, generasi Sahabat Radhiyallahu anhum.

Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah berkata, “Sebab munculnya kesesatan ialah berpaling dari merenungi kalâmullâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan menyibukkan diri dengan teori-teori Yunani dan pemikiran-pemikiran yang macam-macam” (hal. 176, tahqiq Ahmad Syâkir rahimahullah)

Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq. Tidak ada petunjuk yang benar kecuali dalam risalah yang beliau bawa. Akal manusia mustahil sanggup berdiri sendiri untuk mengenal nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Rabbnya, Dzat yang ia ibadahi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam didelegasikan kepada umat manusia untuk memperkenalkan mereka kepada Allâh Azza wa Jalladan menyeru mereka beribadah kepada-Nya. Karenanya, kebanyakan orang yang terjerumus dalam kesesatan dalam memahami akidah yang benar adalah orang yang melakukan tafrith[10] dalam mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[11]

Dengan demikian, siapa saja menginginkan hidayah, utamanya dalam masalah keyakinan, hendaknya menempatkan al-Qur`ân dan petunjuk Nabi n di depan mata, sehingga menjadi obor yang menerangi jalan hidupnya. Syaikhul Islam t telah menyampaikan pintu menuju hidayah dengan berkata, “Jika seorang hamba merasa butuh kepada Allâh Azza wa Jalla, kemudian senantiasa merenungi firman Allâh Azza wa Jalladan sabda Rasul-Nya, perkataan para Sahabat, Tâbi’în dan imam kaum Muslimin, maka akan terbuka jalan petunjuk baginya.”[12]

Orang yang menghantam nash al-Qur`ân dan Sunnah dengan akal, ia belum mengamalkan firman Allâh Ta’ala berikut ini:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya [an-Nisâ/4:65]

PENUTUP
Tampak dengan jelas betapa bahaya ilmu filsafat di mata Ulama sehingga mereka memperingatkan umat agar menjauh darinya. Anehnya, ilmu yang telah mengintervensi akidah Islam ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan kajian-kajian Islam kontemporer, bahkan menjadi mata kuliah yang wajib dipelajari. Seolah-olah seorang Muslim belum dapat memahami al-Qur`ân dan Sunnah (terutama masalah akidah) kecuali dengan ilmu filsafat. Jelas hal ini bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus [al-Isra/17:9]

Mari simak pernyataan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam menerangkan ayat di atas, “Dalam masalah akidah, sesungguhnya akidah yang bersumberkan al-Qur`ân merupakan keyakinan-keyakinan yang bermanfaat yang memuat kebaikan, nutrisi dan kesempurnaan bagi kalbu. Dengan keyakinan tersebut, hati akan sarat dengan kecintaan, pengagungan dan penyembahan serta keterkaitan dengan Allâh Azza wa Jalla“[13] .

Sementara Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah menyimpulkan kandungan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pada ayat yang mulia ini, Allah k menyampaikan secara global mengenai kandungan al-Qur`ân yang memuat petunjuk menuju jalan yang terbaik, paling lurus dan paling tepat kepada kebaikan dunia dan akherat.[14]

Semoga Allâh Azza wa Jallamengembalikan umat Islam kepada hidayah-Nya. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tahâful Falâsifah 84. Nukilan dari Tanâquzhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ fil ‘Aqîdah’ 1/103. Penulis menyertakan ilmu filsafat sebagai sumber pengambilan hukum kedelapan oleh kalangan ahli bid’ah
[2]. Asbâbul Khatha` fit Tafsîr , DR. Thâhir Mahmûd Muhammad Ya’qûb 1/260
[3]. At-Tanâquzh 1/103
[4]. Fathul Bâri (13/253)
[5]. Manhaj al-Hâfizh Ibni Hajar fil ‘Aqîdah, Muhammad Ishâq Kandu 3/1446
[6]. Majmû Fatâwa 7/119
[7]. Shaidul Khâthir hlm. 226
[8]. Fadh ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf hlm. 105
[9]. Fatâwa wa Rasâil Ibni ash Shalâh 1/209-212. Nukilan dari Asbâbul Khatha` fit Tafsîr 1/266
[10]. Pengertian tafrîth atau taqshîr, kurang memberikan perhatian yang layak panduan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan petunjuknya baik dengan tidak mempelajarinya atau menganggap petunjuk yang lain lebih baik.
[11]. Imam Ibnu Abil ‘Izzi t dalam mukadimah Syarh ‘Aqîdah Thahâwiyah telah menyinggung perkara ini.
[12]. Majmû Fatâwa 5/118
[13]. Al-Qawâidul Hisân al-Muta`alliqah bi Tafsîril Qur`ân, hlm. 122
[14]. Adhwâul Bayân 3/372

Sumber: https://almanhaj.or.id/3453-ilmu-filsafat-perusak-akidah-islam.html

Diabolisme Intelektual


Oleh: Dr. Syamsuddin Arif 

Diábolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur’an, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah “diabolisme” berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur’an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut ‘kafir’? Di sinilah letak persoalannya.

Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya’rifunahu kama ya’rifuna abna’ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.

Menurunkan Berat Badan Tanpa Pantangan dan Tanpa Diet Ketat

Powered By Green Coffee Indone…

 

Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. “Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission, ” tegas Profesor Naquib al-Attas.

Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah Tuhan (fasaqa ?an amri rabbihi, QS 18:50). Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.

Iblis adalah ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.

“Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!” Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).

Maka Iblis pun bertekad: “Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!” (QS 7:16-17). Maksudnya, menurut Ibnu ‘Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-?Az?im, cetakan Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).

Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut. Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).

Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya.

Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-‘Aqa’id, dalam Majmu’ min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba’ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).

Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): “Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)”.

Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya.

Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis.

Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an : “Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya” (7:146).

Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.

Sebaliknya, yang haq digunting dan di’preteli’ sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.

Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma’tsur dari ayat-ayat tersebut.

Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an 3:71, “Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta’lamun?” Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim.

Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaitan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang (‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz), menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik dan kebencian (yuqi’u l-‘adawah wa l-baghda’), menganjurkan perbuatan maksiat dan amoral (ya’mur bi l-fahsya’ wa l-munkar) serta menyuruh orang supaya kafir (qala li l-insani-kfur).

Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya’ al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan (3:175), hizb al-syaytan (58:19) dan junudu Iblis (26:94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran.

Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir’aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah. Lalu lahir Hamzah Fansuri,  namun datang ar-Raniri, dan seterusnya.

Al-Qur’an pun telah mensinyalir: “Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka” (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa “sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik” (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu a’lam.*

Penulis adalah peneliti INSISTS, kini menempuh program doktor keduanya di Universitas Frankfurt, Jerman

Kisah Satu Paragraf

"Saat kau tidak ada nanti, kira-kira sudikah orang membuat biografimu boi?"

pikiran kawanku yang satu ini memang suka aneh-aneh. Menerobos waktu tanpa ampun. Tak berlebihan kalau ku sebut ia punya penyakit berpikir terlalu dalam.

Tapi pertanyaannya sukses membuatku termenung.

Aku diam.

"Kenapa kau bertanya seperti itu? sudah mau mati kau?" jawabku sekenanya.

Ia tersenyum tidak simetris. Menyebalkan.

"tidak. hanya berandai-andai saja. Kira kira saat kita mati, ada orang yang sudi menulis buku biografi kita atau tidak."

aku kembali diam. Tapi dengan jelas hatiku menjawab, "tidak akan. tidak akan ada yang mau!"

"Kau tau banyak sekali buku biografi orang orang hebat pencetak sejarah di bumi ini?"

aku masih diam. Pertanyaan retoris.

"Kau pernah main ke toko buku? lihat buku tentang Soekarno? ada bermacam jenis penerbit yang menuliskan jejak hidupnya."

"Kau tahu Umar bin Khattab Al-Faruq, berbagai penerbit, berbagai bahasa, 10 cm tebalnya! Banyak sekali manusia yang mencatat detil hidupnya. Diteliti dari berjilid-jilid hadis dan buku."

"Apalagi Nabi Muhammad."

dia tertawa ringan. "Tak perlu dibahas lagi, haha!" tawanya perlahan mereda.

Berganti sunyi. Tatapannya jauh memandang awan awan berarak, melintasi waktu. Mungkin mengira-ngira seperti apa akhir hidupnya nanti.

Aku masih diam. Memaknai semua kata-kata kawanku ini. Ia yang awalnya kuanggap penyakitan, ternyata serius. Tidak main-main.

"Ada 7 miliar manusia di bumi. Ada berapa yang punya buku biografi?"

ia mulai lagi.

"Sadar atau tidak boi, kita sendiri yang jelas-jelas menuliskan buku biografi itu. Tinggal kisahmu itu, laku atau tidak di pasaran?"

"Aku lahir. Tumbuh besar. Sekolah. Masuk perguruan tinggi. Lulus. bekerja. menikah. Punya anak. Punya cucu. lalu mati."

"Itu namanya Kisah Hidup Satu Paragraf. Kalau hanya seperti itu kisah hidupmu. Namamu hanya kekal dalam lingkup keluargamu."

"Yaah..." ia menghitung dengan tangan kanan. "Paling bertahan empat generasi lah. Lalu dunia dengan cepat melupakanmu."

"Selamanya."

angin berhembus menelisik wajah kami, memainkan rambut kami, ke kanan dan ke kiri.

"Kau tahu yang paling penting? jika kau hanya hidup dalam Kisah Satu Paragraf.."

ia mengambil nafas. Kalimatnya menggantung.

"Pantaskah kita untuk menghadap-Nya kelak boi?"

aku mematung.

"Jangan-jangan, di kuburan saja kita sudah mati kutu. Digerogoti cacing. Berakhir sia-sia"

LOGIKA TERBALIK PEMUJA SEKULERISME


HIRUK pikuk pesta Demokrasi sepertinya akan terus menghiasi jagat politik Indonesia. Gelaran Pilkada kali ini wa bil khusus Pilkada DKI benar-benar menguras energi. Tak pelak jiwa ke-Indonesiaan yang telah terpatri sekian lama itu hari demi hari terkikis.

Kalimat-kalimat kotor, sumpah serapah, sikap menyombongkan diri, sampai duel ala “smackdown” tersedia di lini masa. Agama Allah dianggap seperti guyonan, padahal berkat rahmat Allah-lah Indonesia menghirup kemerdekaan. Mereka berani menantang banjir, seketika itu Ia kirimkan banjir di ibukota.

Ulama menjadi bahan olokkan, padahal di pundak mereka tugas kenabian di wariskan. Boleh saja ada yang bilang “Saya lebih sreg dengan ulama yang ini”. Pertanyaannya, siapakah ulama yang lebih tidak berkompromi terhadap kemaksiatan, yang lebih memerangi segala bentuk penjajahan yang kini dalam bentuk non fisik seperti ekonomi, sosial dan budaya. Yang lebih tidak bermesra dengan kekufuran.

Syariat dianggap budaya Arab. Lebih pantaskah dengan kebiasaan mengumbar aurat yang notebene dari Barat. Lebih cocokkah dengan sistem politik sekulerisme ala Plato, Aristoteles, Machiavelli, hingga Thomas Hobbes dari Eropa. Atau bahkan Karl Mark dari Rusia.

Lebih hebat manakah leberalisasi ekonomi ala Adam Smith yang mengakibatkan ketimpangan kesejahteraan, liberalisasi pemikirannya Mr. John Stuart Mill membidani kelahiran peniadaan sebutan kafir atau Muslim, Liberalisasi politik oleh John Locke yang melahirkan politisi opurtunis sekedar mementingkan perut.

Atau pilih sistem Ala Nabi terbimbing wahtu Ilahi? Merekalah orang-orang yang beriman pada Allah, Malaikat, kitab-kitab-Nya, pada Rasul-Rasulnya, dan Hari Akhir, qadha dan qadar, yang yakin akan hal ini.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?.” (Al-Maidah 50)

Hukum Allah dituding mengancam kebhinekaan, ironisnya dimana kemampuan sekulerisme menjaga lepasnya sebagian wilayah. Kemana kredibilitas sekuler saat terjadinya pembakaran tempat-tempat ibadah. Bagaimana pula dengan bentroknya antar masyarakat berbagai Suku, Ras, dan Agama.

Bukan sekedar nostalgia, realitanya sistem Islam berhasil mensejahterakan, membuat aman, damai dan rukun rakyatnya baik muslim maupun bukan muslim selama berabad-abad lamanya dikenal dengan zaman keemasan (golden age), tidak ada sejahrawan yang sanggup menyangkal. Hal itu.

Sungguh, semua ini tampaknya perlu kita cermati dengan kaca mata yang jernih, kaca mata cinta. Kita merindukan Indonesia yang damai hidupnya rukun antar agama, sejahtera, aman. Apakah anda percaya Hukum Allah mempu menjadi solusi Indonesia? Jika  Anda menganggukkan kepala, selamat! Anda masuk kategori orang-orang yang Yakin. Wallahu A’lam.*

Ali Mustofa

Minggu, 12 Februari 2017

Proses Terbentuknya Kepulauan Indonesia

Pulau-pulau cikal bakal dari kepulauan Indonesia mulai terbentuk sekitar 50 juta tahun lalu (Mya).Pada Periode Quaternary (sekitar 2 juta tahun yang lalu- sekarang) itulah proses utama pembentukan kepulauan Indonesia. sekitar 1 juta tahun yang lalu, pada saat Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Borneo masih menyatu dengan Semanjung Asia, disebut dengan “Paparan Sunda”. 

Paparan sunda  ini terpisah oleh naiknya permukaan air laut, mulai dari 20,000 tahun yang lalu sampai sekarang, dengan permukaan air laut yang naik/turun karena dipengaruhi oleh suhu Bumi dan Glacier, beberapa kali pulalah Paparan sunda ini terpisah menjadi beberapa pulau, kemudian menyatu kembali, dan terpisah kembali secara berulang-ulang, sampai kita lihat pada saat sekarang ini.

Dengan demikian asal usul dari pulau-pulau yang terdapat di Indonesia berbeda-beda. Pulau Papua yang berasal dari craton Australia dahulunya, dan telah terbentuk beberapa juta tahun lalu, sebelum terbentuknya pulau lain di Indonesia. 

Pulau Sumatra, Jawa dan Borneo yang merupakan bagian dari craton China Utara, yang kemudian akibat pergerakan kulit bumi membentuk daratan Asia, dan pada Periode Tertiary, pulau Sumatra, Jawa dan Borneo terpisah. 

Berdasarkan rekonstruksi ini, kita bisa melihat dari mana asal Fauna dan Flora yang terdapat di Indonesia. sehingga Fauna yang terdapat pad pulau Sumatra, Jawa dan Borneo memiliki karakter yang sama dengan yang terdapat di benua Asia, begitu juga denga pulau Papua yang berasal dari craton Australia.

Sedangkan pulau unik Sulawesi yang terbentuk dari gabungan beberapa daratan Asia, Australia dan beberapa pulau dari Samudara Pasifik, menyebabkan pulau ini memiliki fauna yang unik dan khas.

Menurut para ahli bumi, posisi pulau-pulau di Kepulauan Indonesia terletak di atas tungku api yang bersumber dari magma dalam perut bumi. Inti perut bumi tersebut berupa lava cair bersuhu sangat tinggi. Makin ke dalam tekanan dan suhunya semakin tinggi.
Pada suhu yang tinggi itu material-material akan meleleh sehingga material di bagian dalam bumi selalu berbentuk cairan panas. Suhu tinggi ini terus menerus bergejolak mempertahankan cairan sejak
jutaan tahun lalu. Ketika ada celah lubang keluar, cairan tersebut keluar berbentuk lava cair. 

Ketika lava mencapai permukaan bumi, suhu menjadi lebih dingin dari ribuan derajat menjadi hanya bersuhu normal sekitar 30 derajat. Pada suhu ini cairan lava akan membeku membentuk batuan beku atau kerak. Keberadaan kerak benua (daratan) dan kerak samudera selalu bergerak secara dinamis akibat tekanan magma dari perut bumi. Pergerakan unsur-unsur geodinamika ini dikenal sebagai kegiatan tektonis.

Sebagian wilayah di Kepulauan Indonesia merupakan titik temu di antara tiga lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara dan Lempeng Pasifik di timur. Pergerakan lempeng-lempeng tersebut dapat berupa subduksi (pergerakan lempeng ke atas), obduksi (pergerakan lempeng ke bawah) dan kolisi (tumbukan lempeng). 

Pergerakan lain dapat berupa pemisahan atau divergensi (tabrakan) lempeng-lempeng. Pergerakan mendatar berupa pergeseran lempeng-lempeng tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang. Perbenturan lempeng-lempeng tersebut menimbulkan dampak yang berbeda-beda. Namun semuanya telah menyebabkan wilayah Kepulauan Indonesia secara tektonis merupakan wilayah yang sangat aktif dan labil hingga rawan gempa sepanjang waktu.

Pada masa Paleozoikum (masa kehidupan tertua) keadaan geografis Kepulauan Indonesia belum terbentuk seperti sekarang ini. Di kala itu wilayah ini masih merupakan bagian dari samudera yang sangat luas, meliputi hampir seluruh bumi. Pada fase berikutnya, yaitu pada akhir masa Mesozoikum, sekitar 65 juta tahun lalu, kegiatan tektonis itu menjadi sangat aktif menggerakkan lempenglempeng
Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. 

Kegiatan ini dikenal sebagai fase tektonis (orogenesa laramy), sehingga menyebabkan daratan terpecah-pecah. Benua Eurasia menjadi pulau-pulau yang terpisah satu dengan lainnya. Sebagian di antaranya bergerak ke selatan membentuk pulau-pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Banda. 

Hal yang sama juga terjadi pada Benua Australia. Sebagian pecahannya bergerak ke utara membentuk pulau-pulau Timor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur dan sebagian Maluku Tenggara. Pergerakan pulau-pulau hasil pemisahan dari kedua benua tersebut telah mengakibatkan wilayah pertemuan keduanya sangat labil. Kegiatan tektonis yang sangat aktif dan kuat menyebabkan terbentuknya Kepulauan Indonesia pada masa Tersier sekitar 65 juta tahun lalu.
Sebagian besar daratan Sumatra, Kalimantan dan Jawa telah tenggelam menjadi laut dangkal sebagai akibat terjadinya proses kenaikan permukaan laut atau transgresi. Sulawesi pada masa itu sudah mulai terbentuk, sementara Papua sudah mulai bergeser ke utara, meski masih didominasi oleh cekungan sedimentasi laut dangkal berupa paparan dengan terbentuknya endapan batu gamping. 

Pada kala Pliosen sekitar lima juta tahun lalu, terjadi pergerakan tektonis yang sangat kuat, yang mengakibatkan terjadinya proses pengangkatan permukaan bumi dan kegiatan vulkanis. Ini pada gilirannya menimbulkan tumbuhnya (atau mungkin lebih tepat terbentuk) rangkaian perbukitan struktural seperti perbukitan besar (gunung), dan perbukitan lipatan serta rangkaian gunung api aktif sepanjang gugusan perbukitan itu. 

Kegiatan tektonis dan vulkanis terus aktif hingga awal masa Pleistosen, yang dikenal sebagai kegiatan tektonis Plio-Pleistosen. Kegiatan tektonis ini berlangsung di seluruh Kepulauan Indonesia.

Gunung api aktif dan rangkaian perbukitan struktural tersebar di sepanjang bagian barat Pulau Sumatra, berlanjut ke sepanjang Pulau Jawa ke arah timur hingga Kepulauan Nusa Tenggara serta Kepulauan Banda. Kemudian terus membentang sepanjang Sulawesi Selatan dan Utara. 

Pembentukan daratan yang semakin luas itu merupakan proses terbentuknya Kepulauan Indonesia pada kedudukan pulau-pulau seperti sekarang ini. Hal itu telah berlangsung sejak kala Pliosen hingga awal Pleistosen (1,8 juta tahun lalu). Jadi pulau-pulau di kawasan Kepulauan Indonesia ini masih terus bergerak secara dinamis, sehingga tidak heran jika masih sering terjadi gempa, baik vulkanis maupun tektonis.

Source :http://sejarah-smu.blogspot.co.id/2014/08/proses-terbentuknya-kepulauan-indonesia.html

SEJARAH DINASTI BANI ABBASIYAH

A. Proses Terbentuknya Dinasti Abbasiyah

Hasil gambar untuk abbasiyah
Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyahmelanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakankhilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,dari tahun 132 H (750 M) s. d 656 H (1258). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[1] \
Ketika dinasti Umayyah berkuasa Bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan. Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa.[2]
Orang Abbasiyah, sebut Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap Umayah.[3]
Pergantian kekuasaan dinasti Umayyah oleh Dinasti Bani Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Dalam sejarah berdirinya daulah Abbasiyah, menjelang akhir Daulah Amawiyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1.      Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2.      Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3.      Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[4]  
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Amawiyah. Gerakan ini menghimpun[5];
a)      Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
b)      Keturunan Abbas  (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;
c)      Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-khurasany.
Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H/ 750 M tumbanglah Daulah Amawiyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, Khalifah terakhir. Dengan terbunuhnya Marwan mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya Khalifah pertama, Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 132-136 H/ 750-754 M.[6]
Pada awalnya kekhalifahan Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai  pusat pemerintahan, dengan Abu as-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu ja’far al-Mansur (754-775) memindahkan pusat pemerintahan kebaghdad. Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan masa daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal- usul penguasa selama masa 508 tahun daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk. Adapun rincian susunan penguasa pemerintahan Bani Abbasiyah ialah sebagai berikut.
a.       Bani Abas (750-932 M
1)      Khalifah Abu AbasAs-Safak (750-754 M)
2)      Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M)
3)      Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4)      Khalifah Al Hadi (775-776 M)
5)      Khalifah Harun Al-Rasyid (776-809 M)
6)      Khalifah Al-Amin (809-813 M)
7)      Khalifah Al-Makmun (813-633 M)
8)      Khalifdah Al-Mu’tasim (833-842 M)
9)      Khalifah Al-Wasiq ( 842-847 M)
10)  Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
11)  ….
b.       Bani Buwaihi (932-107 5M)
1)      Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
2)      Khalifah Ar-Radi (934-940 M
3)      Khalifah Al-Mustaqi (943-944 M)
4)      Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
5)      Khalifal Al-Mufi (946-974 M)
6)      Dst …
c.       Bani Seljuk
1)      Khalifah Al-Muktadi (1075-1048 M)
2)      Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
3)      Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
4)      Dst …[7]
Adapun periodisasi dalam Daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a.       Periode Pertama (750-847 M)
Diawali dengan Tangan Besi
Sebagaimana diketahui Daulah Abbasiyahdidirikan oleh Abu Abas. Dikatakan demikian, karena dalam Daulah Abbasiyah berkuasa dua dinasti lain disamping Dinasti Abasiyah. Ternyata dia tidak lam berkuasa, hanya empat tahun. Pengembangan dalam arti sesungguhnya dilakukan oleh penggantinya, yaitu Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M). Dia memerintah dengan kejam, yang merupakan modal bagi tercapainya masa kejayaan Daulah Abasiyah.[8]
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasarpemerintahan Daulah Abasiyah ini telah diletakkan dan dibangun olh Abu Abbas as-Safak dan Abu Jakfar al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak masa khalifah al-Mahdi (775-785 M) hinga Khalifah al-Wasiq (842-847 M). zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah Al-Jakfar, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya….[9]
b.      Periode Kedua (232 H/ 847 M – 334H/ 945M)
Kebijakan Khalifah Al-Mukasim (833-842 M untuk memilih anasir Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abasiyah dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Makmun dan sebelumnya.khalifah Al-Mutawakkil (842-861 M) merupakan awal dari periode ini adalah khalifah yang lemah.[10]
Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini, seperti pemberontakan Zanj didataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang berpusa di Bahrain. Faktor-faktor penting yng menyebabkan kemunduran Bani Abas pada periode adalah. Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Yang kedua, profesionalisasi tentara menybabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak kebaghdad.
c.       Periode Ketiga (334 H/945-447 H/1055 M)
Posisi Daulah Abasiyah yang berada dibawaah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan cirri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya keudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersauara. Ali menguasai wilayah bagian selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah al-ahwaz, Wasit, dan \Baghdad. Baghdad dalam periode ini tidak sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasaAli bin Buwaihi.[11]
d.      Periode Keempat (447 H/1055M-590 H/1199 M)
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Seljuk dalam Daulah Abasiyah. Kehadirannya atas unangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan Khalifah memang sudah membaik, paling tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah. [12]
e.       Periode Kelima (590 H/ 1199M-656 H / 1258 M)
Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H/ 1256 M.[13]
Dalam setiap pemerintahan pada khususnya tentu memiliki perkembangan dan kemajuan, sebagaimana halnya dalam pemerintahan yang dipegang oleh dinasti Abbasiyah. Dinasti ini mempunyai kemajuan bagi kelangsungan agama islam, sehingga masa dinasti Abbasiyah ini dikenal dengan “The Golden Age of Islam.
Khilafah di Baghdad yang didirikan oleh Saffah dan Mansur mencapai masa keemasannya mulai dari Mansur sampai Wathiq dan yang paling jaya adalah periode Harun dan puteranya, Ma’mun. Istana khalifah Harun yang identik dengan megah dan penuh dengan kehadiran para pujangga, ilmuwan, dan tokoh-tokoh penting dunia. Dengan Harun  tercatat buku legendaries cerita 1001 malam. Baik segi politik, ekonomi, dan budaya, periodenya tercatat sebagai The Golden Age of Islam.[14]
Adapun kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh dinasti Bani Abbasiyah ialah sebagai berikut :
1.      Administrasi
Sebelum Abbasiyah, dalam pemerintahan pos-pos terpenting diisi oleh Bani Umayyah notabene bangsa arab, namun pada masa abbasiyah orang non-arab  mendapat fasilitas dan menduduki jabatan strategis. Khalifah sebagai kepala pemerintahan,penguasa tertinggi sekaligus menguasai jabatan keagamaan, pemimpin sacral. Disebut juga bahwa para khalifah tidak peduli dan mentaati suatu aturan atau cara yang tetapuntuk mengangkat putera mahkota, yaitu sejak masa al-Amin. Pada masa ini, jabatan penting diisi oleh seorang wazir yang menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh hukum Islam untuk mengangkat dan menurunkan para pegawai. Wazir adalah pelaksana non-militer yang diserahkan sang khalifah kepadanya. Ada dua macam wazir, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi(tafwid)dan wazir (tanfiz) yang kekuasaannya terbatas. Yang pertama disebut juga wazir utama atau sekarang sama dengan perdana menteri yang dapat bertindak tanpa harus direstui khalifah, termasuk mengangkat dan memecat para gubernur dan hakim. Pada saat para khalifah lemah, kekuasaan dan kedudukan wazir meningkat tajam. Sementara wazir tidak berkuasa penuh, hanya mentaaati perintah khlifah saja.[15]
Kalau pada masa Umayyah terdapat lima kementrian pokok, yang disebut diwan, maka dimasa Abbasiyah kelima tersebut ditambah jumlahnya. Kelima kementrian tersebut ialah (1) Diwan al-jund (war of office). (2) diwan al-Kharaj (Department of Finance). (3) Diwan al-Rasal (Board of Correspondence). (4) Diwan al_khatam (Board og Signet). (5) Diwan al-Barid (Postal Department). Kelima diwan ini pada era Abbasiyah ada penambahan diwan diantaranya. (6)Diwan al-Azimah(the Audit and Account Board). (7) Diwan al-Nazri fi al-mazalim (Appeals and Investigation Boars). (8) Diwan al-Nafaqat (the Board of Expenditure). (9) Diwan al-Sawafi (the Board of Crown Land). (10) Diwan al-Diya (the Board of States). (11) Diwan al-Sirr (the Board of Military Infection). Dan, (13) Diwan al-Tawqi’ (the Board Request).[16]
Diwan-diwan aru yang dibentuk pada periode Abbasiyah, antara lain, Diwan al-Syurtha (Police Department). Kepala polisi disebut Sahib al-Surtha yang beda dengan zaman Umayyah, mereka terbagi tugasnya sesuai dengan kondisi wilyahnya. Tugas mereka paling utama adalah menjamin dan memelihara keamanan, harta, dan nyawa masyarakat. Sementara itu, polisi biasa ada dibawah kendali muhtasib.[17]
Dari diwan-diwan yang dibentuk memiliki tugas masing-masing dalam pemerintahan daulah Abbasiyah yang mempunyai peranan yang sangat penting.
Demi kelancaran admiinistrasi wilayah kekuasaan Abbasiyah dibagi dalam beberapawilayah administrasi yang dapat disebut provinsi dan masing-masing provinsi yang dikepalai seorang Amir yang melaksanakan tugas khalifah dan bertanggung jawab kepadanya. Khalifah yang mengangkat dan memecat atau memindahkan ke Provinsi lain. Pada umumnya, pendapatan provinsi digunakan untuk provinsi dan sisanya di kirim ke pemerintah pusat.[18]                                                                                                                                                                                                                                    
2.      Sosial
Philip Khore Hitti, bahwa para sejarawan Arab lebih berkonsentrasi pada persoalan Khalifah Abbasiyah, lebih mengutamakan persoalan politik dibandingkan dengan persoalan lain, yang menyebabkan mereka tidak begitu memberikan gambaran memadai tentang kehidupan sosial-ekonomi. Dengan adanya asimilasi, Aab-Mawali membawa dinasti ini kehilangan jati diri sebagai bangsa Arab menjadi bangsa majemuk. Untuk memperlancar proses pembaruan antara Arab dengan rakyat taklukan, lembaga poligami, selir, dan perdagangan budak terbukti efektif. Saat unsur Arab murni surut, orang Mawali dan anak-anak perempuan yang dimerdekakan, mulai menggantikan posisi mereka. Aristokrasi Arab mulai digantikan oleh hierarki pejabat yang mewakili berbagai bangsa, yang semula didominasi oleh Persia dan kemudian oleh Turki.[19]
3.       Kegiatan ilmiah
Pada periode Abbasiyah adalah era baru dan identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan peradaban, dan kultur pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan Islam, akan tetapi era ini mengukur dengan gemilang dalam kemajuan peradaban dunia. Semasa dinasti Umayyah kegiatan dan aktivitas nalar ilmu yang ditanam itu berkembang pesat yang mencapai puncakya pada era Abbasiah.[20]
Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam sel\lu bermuara  pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan kedalam ma’had.[21]
Abad X Masehi disebut abad pembangunan daulah Islam,iyah dimana dunia Islam, mulai dari Cordon di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan, mengalami kebangunan di segala bidang, terutama dalam bidang berbagai macam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Duni Islam, pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya dan makmur.[22]
Diantara pusat-pusat ilmu pengetahuan dan filsafat yang terkenal ialah Damaskus, Alexandria, Qayrawan, Fustat, Kairo, al-Madaain, Jundeshahpur, dan lain-lain. Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana para kahlifah Abbasiyah, misalnya Mansur yng banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendekiawan-cendekiawan Persia. Yang terbesar dan banyak berpengaruh pada mulanya ialah keluarga Barmak dan kemudian, seperti jabatan wazir yang diberikn Mansur kepada Khalid ibn Barmak,  kemudian ke anak dan cucu-cucunya. Mereka ini berasal dari Bactra, dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan dan filsafat, yang condong kepada paham Mu’tazilah. Mereka disamping sebagai wazir, juga menjadi pendidik anak-anak Khalifah. Diakuinya Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara pada masa Khalifah Ma’mun (827 M). Mu’tazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berfikir kepada manusia. Aliran ini telah berkembang dalam masyarakat terutama pada masa awal Dinasti Abbasiyah, yang banyak memajukan kegiatan intelektual dengan lebih menggunakan rasio baik dalam penerjemahan ilmu-ilmu luar maupun memadukan dengan ajaran Islam. Inilah faktor utama jasa mereka memelihara Yunani dan selanjutnya dikembangkan melalui Kairo, dan selanjutnya di transfer melalui pusat-pusat kegiatan ilmiah di Eropa Barat Daya seperti Seville, Cordova, al-Hamra.[23]
Pribadi beberapa Khalifah terutama pada masa awal Abbasiyahseperti Mansur, Harun, dan Ma’mun adalah kutu buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga terpengaruh dalam kbijaksanaannya yang banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu pengetahuan. Selain itu semua, karena permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks dan berkembang, oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, khususnya ilmu-ilmu naqli eperti ilmu agama, bahasa, dan adab. Adapun ilmu aqli seperti kedokteran, Manthiq, olahraga, ilmu angkasa luar dan ilmu-ilmu yang lain telah dimulai oleh umat Islam dengan metode yang teratur. Kegiatan ilmiah dikalangan umat Islam, semasa Abbasiyah yang menandakan Islam memperoleh kemajuan disegala bidang.[24]
Adapun ilmu yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah terdiri dari perkembangan ilmu naqli (sumber dari Al-Qur’an dan Hadis) yaitu seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam,ilmu tasawuf, ilmu bahasa, ilmu fiqih,serta pembukuan kitab-kitab hukum. Sedangkan perkembangan ilmu aqli diantaranya ilmu kedokteran dan ilmu filsafat, dan lain lain.[25]
4.      Peran Pemerintah
Pada masa kejayaan Islam banyak Khalifah mencintai dan mendukung penuh atas aktivitas mereka paling menonjol dan besar melalui penerjemahan yang merupakan kegiatan yang paling besar melalui penerjemahan yang merupakan kegiatan yang paling besar peranannya dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Mereka menerjemahkan dari buku-buku asing, seperti bahasa Sansekerta, Suryani, atau Yunani kedalam bahasa arab yang telah dimulai sejak zaman Umayyah. Misalnya, Khalid ibn Yazid, seorang penguasa, pecinta ilmu yang memerintahkan kepada para cendekiawan Mesir atau yang tinggal di Mesir agar mereka menerjemahkan buku-buku tentang kedokteran, bintang, dan kimia yang berbahasa Ynani ke dalam bahasa arab. Demikian juga Khalifah Umar II menyuruh menerjemahkan buku-buku kedokteran kedalam bahsa arab.[26]
Pada 832 M, Ma’mun mendirikan Bait al-HIkmah di Baghdadsebagai akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakaan, dan lembaga penerjemahan. Kepala akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857 M) murid Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua kedua.[27]
Sekitar akhir abad ke-10 m, kegiatan kaum muslibukan hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan), dan melkukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkas, lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan, analisis dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal. Dengan kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri. Misalnya apa yang yang telah dilakukan oleh Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi dengan memisahkan aljabar dari ilmu hisab yang pada akhirnya menjadi ilmu tersendiri secara sistematis. Pada masa inilah lahir karya-karya ulama yang telah tersusun rapi. Semasa Abbasiyah muncul ulama-ulama besar …[28]
Pada mulanya, para lama memelihara dan mentransfer ilmu mereka melalui hafalan atau lembaran-lembaran yang tidak teratur. Kemudian barulah abad ke-7 M,mereka menulis hadis, fikih, tafsir, dan banyak buku dari berbagai bahasa arab dan menjadi buku-buku yang disusun secara sistematis. Diantara kebanggaan zaman pemerintahan Abbasiyah adalah terdapatnya 4 imam yaitu Abuu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal, mazhab fikih yang ulung ketika itu. Mereka merupakan para Ulama fikih yang paling agung dan tiada bandingannya di dunia Islam.[29]

C.    Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah

Sejak abad ke-7 M bangsa Arab dengan cepat sekali menguasai satu persatu wilayah kemajuan dunia saat itu sampai mereka pernah menjadi penguasa yang sangat kuat dimana peta kekuatan Islam melebar sampai Asia, Afrika, dan Eropa Barat Daya. Setelah mengalami masa kejayaan, Dinasti Abbasiyah akhirnya mengalami kemunduran dan kehancuran.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau Khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuaasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri.[30]   
Adapun faktor penyebab kehancuran Abbasiyah, diantaranya, sebagai berikut.
1.      Internal
Semasa Abbasiyah wilayah kekuasaannnya meliputi barat sampai samudera Atlantik, disebelah timur sampai India dan perbatasan China, dan diutara dari laut Kashpia sampai keselatan, teluk Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang hampir sama luasnya dengan wilayah kekuasaan dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan oleh para Khalifah yang lemah. Di samping itu, sistem komunikasi masih sangat lemah dan tidak maju saat itu, menyebabkan tidak cepat dapat informasi akurat apabila suatu daerah ada masalah, konflik, atau terjadi pemberontakan. Oleh karena itu, terjadinya banyak wilayah lepas dan berdiri sendiri. Sebenarnya pasca Khalifah Ma’mun dinasti ini  mulai mengalami kemunduran. Ementara itu jauhnya wilayah-wilayah yang terletak di ketiga benua tersebut, dan kemudian hari didorong oleh para Khalifah yang makin lemah dan malas yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang tidak terkendali bagi Khalifah, …[31]
Karena tidak adanya suatu sistem dan aturan yang baku menyebabkan sering gonta-gantinya putera mahkota dikalangan istana dan terbelahnya suara istana yang tidak menjadi keatuan bulat terhadap pengangkatan para pengganti Khalifah. Seperti perang saudara antara Amin-Ma’mun adalah bukti nyata. Disamping itu, tidak adanya kerukunan antara tentara, istana, dan elit politik lain yang juga memacu kemunduran dan kehancuran dinasti ini.[32]
Selain agama juga faktor ekonomi cukup dominan atas lemahnya sendi-sendi kekhalifahan Abbasiyah. Beban pajak yang berlebihan dn pengaturan wilayah-wilayah (Provinsi) demi keuntungan kelas penguasa telah menghancurkan bidang pertaniandan industri. Saat para Wali, Amir, dan lain-lain termasuk kalangan istana makin kaya, rakyat justru makin lemah dan miskin. Dengan adanya independensi dinasti-dinasti tersebut perekonomian pusat menurun karena mereka tidak lagi membayar upeti kepada pemerintahan pusat. Sementara itu, disisi lain meningkatnya ketergantungan pada tentara bayaran. Disamping itu, faktor yang penting yaitu merosotnya moral para Khalifah Abbasiyah pada zaman kemunduran, serta melalaikan salahsatu sendi Islam, yaitu jihad.[33]
Dalm buku yang ditulis Abu Su’ud[34], dijsebutkan faktor-faktor intern yang membuat Daulah Abasiyah lemah kekudian hancur antara lain : (1) adanya persaingan tidak sehat diantara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki. (2) terjadinya perselisihan pendapat diantara kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah. (3) munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan social yang berkepanjangan. (4) akhirnya terjadi kemerosotan tingkat perekonimian sebagai akibat dari bentrokan politik.
2.      Eksternal
Disamping faktor-faktor internal, ada juga faktor ekstern yang membawa nasib dinasti ini terjun kejurang kehancuran total. Yaitu serangan Bangsa Mongol. Latar belakang penghancuran dan penghapusan pusat Islam di Baghdad, salahsatu faktor utama adalah gangguan kelompok Asasin yang didirikan oleh Hasan ibn Sabbah (1256 M) dipegunungan Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang Syi’ah Isma’iliyah ini sangat mengganggu di wilayah Persia dan sekitarnya. Baik di wilayah Islam maupun di wilayah Mongol tersebut.[35]
Setelah beberapakali penyerangan terhadap Assasin akhirnya Hullagu, cucu Chengis Khan dapat berhasil melumpuhkan pusat kekuatan mereka di Alamut. Kemudian menuju ke Baghdad. Setelah membasmi mereka di Alamut, tentara Mongol mengepung kota Baghdad selam dua bulan, setelah perundingan damai gagal, akhirnya Khalifah menyerah, namun tetap dibunuh oleh Hulagu. Pembantaian massal itu menelan korban sebanyak 800. 000 orang.[36]
Ketika bangsa Mongol dapat menaklukkan Baghdad tahun 656/ 1258, ada seorang pangeran keturunan Abbasiyah yang lolos dari pembunuhan dan meneruskan Khilafah dengan gelar Khalifah yang berkuasa dibidang keagamaan saja dibawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo, Mesir tanpa kekuasaan duniawi yang bergelar sultan. Jabatan yang disandang oleh keturunan Abbasiyah dimesir itu akhirnya diambil oleh Sultan salami dan Turki Usmani ketika meguasai Mesir tahun 1517, dengan demikian, makahilanglah Khalifah Abbasiyah untuk selamnya.[37]
Sedangkan faktor ekstern[38] yang terjadi adalah (1) berlangsungnya Perang Salib yang berkepanjangan, dan yang paling menentukan adalah (2) sebuah pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Baghdad.

D.    Dinasti Kecil di Barat dan Timur

Lima tahun setelah berdirinya kekhalifahan Abbasiyah, Abd al-Rahman muda, satu-satunta keturunan Dinasti Umayyah yang  dari pembantaia masal. Satu tahun kemudian, tahu 756, dia mendirikan sebua Dinastiyang kelak menjadi dinasti besar.
Selanjutnya  pada 785, Idris ibn Abdullah, cicit al-Hasan ikut serta dalam salahsatu pemberontakan sengit kelompok Ali di Madinah. Perlawanan tersebut bisa diredam dan dia menyelamatkan diri ke \Maroko (al-Maghrib). Disana dia berhasil mendirikan kerajaan yang mengabadikan namanya selama hampir dua abad (788-974) berikutnya yaitu Idrisiyah, yang menjadikan Fez, sebagai ibukota utamanya adalah dinasti Syiah pertama dalam sejarah.
Ketika Idrisiyah-Syiah meluaskan daerah kekuasaannya di sebagian Barat Afrika Utara, Aglabiyah_Sunni juga melakukan hal yang sama ditimur. Di luar wilayah yang dinamakan Ifriqiyah (Afrii ka kecil, terutama Tunisia)., Harun al-Rasyid pada 800 telah mengangkat Ibrahim ibn al-Aglab sebagai gubernur dan berdiri sendiri dalam memerintah.
Dinasti selanjutnya adalah ZiyadatAllah merupakan penerus Ibrahim. Dinasti itu menjadi salah satu titik penting dalam sejarah konflik berkepanjangan antar Asia dan Eropa. Dengan armadanya yang lengkap, mereka memporak-poranadakan kawasan pesisir Italia, Prancis, Korsika, dan Sardinia.
Tidak lama setelah tuntasnya pemberontakan pada penguasa Abbasiyah di Mesir dan Suriah, muncul lagi diasti Turki lain yang masih keturunan faghanah  yakni Iksidiyah yang didirikan di Fushtat. Pendirinya adlah Muhammad ibn Thughj (935-946). Dnasti sebelum Iksidiyah adalah dinasti Thulun yang berumur pendek (869-905), di Mesir dan Suriah adalah Ahmad ibn Thulun.
Ke wilayah utara, Iksidiyah Mesir memiliki pesaing kuat yaitu Dinasti Hamdaniyah yang Syiah.dinasti itu didirikan pertama kali di Mesopotamia dengan Mosul sebagai ibukotanya.. mereka adalah keturunan Hamdan ibn Hamdun dari suku Thalib, di bawah pimpinan Syf al-Dawlah.
Saat dinasti-dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan khalifah di Barat, proses yang sama juga tengah terjadi di timur, terutama dilakukan oleh orang Turki dan Persia.
Dinasti yang pertama mendirikan sebuah Negara semi-independen disebelah timur Baghdad adalah orang yang pernah dipercaya al-Ma’mun untuk menduuduki jabatan jenderal yakni Thahir ibn al-Husayn dari Khurasan. Ia pendiri dinasti Tahiriah berkuasa sampai tahun 872, dan digantikan oleh Dinasti Saffariyah. Yang bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia selama 41 tahun (867-908), didirikan oleh Ya’qub ibn al-Laits al-Saffar. Kemudian dinasti ini digantikan oleh Dinasti Samaniyyah yang didirikan oleh Nashr ibn Ahmad (874-892)
Salah seorang budak Turki yang disukai dan dihargai oleh penguasa Samaniyyah,serta dianugerahi pos penting dalam pemerintahan  adalah Alptigin. Pada 962, dia merebut Ghaznah terletak di Afghanistan dari tangan penguasa pribumi dan mendirikan sebuah kerajaan independen dan berkembang menjadi imperium Ghaznawi,.Wilayahnya meliputi Afghanistan dan Punjab (962-1186), pendiri Dinasti Ghaznawi yang sesungguhnya adalah Subuktigin. Enam belas raja Ghaznawi  yang kemudian menggantikannya adalah keturunan langsung darinya.[39]


DAFTAR PUSTAKA

Hassan, Hassan Ibrahim. Tarikh Al-Islam (Kairo:  Maktabah Al-Nahdhoh Al-Misyriyah.
Hitti, K, Philip. Terj. History Of The Arabs. cet. I  (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2005)
Karim, Abdul, M. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam cet.I,(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007).
Mutrodi, Ali. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab,cet.I,(Ciputat: Wacana Ilmu: 1997).
Su’ud, Abu. Islamologi. cet. I. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003).
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, cet. I (Bogor: Prenada Media, 2003)
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993)